- SMA NEGERI 9 BANDAR LAMPUNG MELAKSANAKAN KEGIATAN PESANTREN RAMADHAN 1442 H (18 jam yang lalu)
- SMAN 9 Bandar Lampung Rayakan Dies Natalis ke-45 (1 bulan yang lalu)
- Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) OSIS Periode 2020 Digelar Secara Virtual (2 bulan yang lalu)
- Kepala SMAN 9 Bandar Lampung Melantik Pengurus OSIS Tahun Pelajaran 2020/2021 (3 bulan yang lalu)
- Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS SMAN 9 Bandar Lampung (4 bulan yang lalu)
- Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS SMA Negeri 9 Bandar Lampung Secara Daring (4 bulan yang lalu)
- Pelepasan Mahasiswa PPL UIN Raden Intan Lampung (5 bulan yang lalu)
- Juara Favorit Olimpiade Nasional tingkat SMA (6 bulan yang lalu)
- Juara 3 Olimpiade Nasional tingkat SMA (6 bulan yang lalu)
- Drs.H. Suharto, M.Pd. Kepala Sekolah Yang Berdedikasi & Punya Talenta Tinggi (7 bulan yang lalu)
- KPU kota Medan ( Jefrizal SH.MH dan Aci SH.MH) melakukan verifikasi legalitas dan keabsahan ijazah kota medan (7 bulan yang lalu)
- Persiapan KBM Tatap Muka (8 bulan yang lalu)
- Dirgahayu Republik Indonesia ke 75 (8 bulan yang lalu)
- HUT Pramuka ke 59 (8 bulan yang lalu)
- Dr. Hi. M. Kadhafi, SH, MH, Anggota DPR RI Komisi X Adakan Ramah Tamah dengan Keluarga SMAN 9 Bandar Lampung (8 bulan yang lalu)


Selebrasi Kelulusan Kuliah
Merdeka.com – Indonesia akan kesulitan naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income) dalam beberapa tahun mendatang. Itu karena jumlah sarjana di Tanah Air masih kecil dibandingkan jumlah populasi.
Itupun masih diperparah kualitas lulusan pendidikan tinggi yang tidak siap bersaing di pasar kerja.
Presiden Ketiga Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie mengungkapkan, fenomena menyedihkan itu harus ditanggulangi pemerintah. Pendidikan sukses bukan diukur semata dari jumlah lulusan, tapi kesesuaian (missmatch) dengan pasar tenaga kerja.
“Keunggulan terjadi bukan hanya dari proses pendidikan dan pembudayaan, tapi harus lewat proses lapangan kerja. Jadi tidak bisa belajar hanya dari buku, harus dilalui,” ujarnya dalam seminar “Refleksi Tiga Tahun MP3EI” di Jakarta, Kamis (4/9).
Menurut Habibie, sudah terlalu banyak sumber daya manusia di Indonesia tersia-siakan. Seringkali mereka menganggur karena tidak tersedia pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang studi.
“Bahkan sarjana bisa cari pekerjaan lain. Kalau perlu menjadi sopir bus atau taksi,” cetusnya.
Dalam forum yang sama, Rektor Institut Teknologi Surabaya Triyogi Yuwono menyatakan jumlah partisipasi kasar penduduk yang mengenyam pendidikan strata 1 baru 20 persen, alias mencakup 6 juta orang.
Jumlah itu masih belum memadai buat menggenjot perkembangan IPTEK, sebagai motor perekonomian. “Sulit jika kita ingin menjadi negara maju kalau kondisi teknologi masih seperti ini,” ujarnya.
Padahal, populasi penduduk produktif di negara maju yang sekolah hingga sarjana amat tinggi. Sebagai perbandingan, di Korea Selatan, penduduk berusia 18-24 tahun yang menempuh studi sarjana mencapai 90 persen.
“Kita sangat jauh tertinggal,” kata Triyogi.
Kalaupun mau mengejar standar kuantitas sarjana negara maju, Indonesia harus menempuh rute yang berbeda.
Dengan penduduk mencapai 240 juta jiwa dan terus bertambah, lebih baik pemerintah memperbanyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun Community College. Cara itu lebih mudah untuk memperbanyak paling tidak angkatan kerja berkualifikasi diploma.
Seiring dengan itu, partisipasi di perguruan tinggi diharapkan bisa mencapai 40 persen pada 2020.
“Sering kita dengar Indonesia sekarang mendapat bonus demografi. Tapi itu kalau kita berhasil mendidik, kalau tidak maka menjadi bencana demografi,” urai Triyono.
Untuk diketahui, Lembaga Studi McKinsey menyatakan Indonesia berpeluang naik kelas menjadi kekuatan ekonomi ketujuh dunia. Itu bisa dicapai pada 2030, asal ada peningkatan konsumsi dari kelas menengah yang populasinya berpotensi melampaui 100 juta jiwa.